Selain hukuman pidana berupa kurungan penjara, salah satu bentuk pidana bagi para pelaku koruptor adalah pencabutan hak-hak tertentu, seperti hak politik yaitu tidak mencalonkan pada pemilihan umum dan tidak dapat menduduki jabatan public, tidak dapat dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Bambang Widjianto, mantan ketua Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan pencabutan hak politik bagi terdakwa kasus korupsi. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi koruptor yang masih ingin menjadi pejabat publik, seperti anggota DPR dan kepala daerah.
Tapi para terpidana korupsi tidak kehabisan akal. Selalu ad acara untuk mengakali tiap aturan yang berlaku. Akal bulus selalu saja ada jalannya. Dikala hak politik mereka dicabut, para koruptor ini megakali hal tersebut dengan mendorong para keluarga terdekatnya untuk maju dalam kontestasi pemilihan umum. Secara pribadi mereka memang terhalang regulasi, tetapi bukan berarti mereka tidak dapat terlibat dalam politik secara langsung, mereka kemudian menjelma menjadi operator pada pemilihan umum.
Nurdin Abdullah dan Nur Alam, dua politisi yang pernah jadi orang nomor 1 di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan, adalah tepidana kasus korupsi yang baru saja menghirup udara bebas. Nurdin Abdullah, terpidana kasus korupsi gratifikasi, didakwa penjara selama 5 tahun, Nur Alam, terpidana kasus suap izin tambang, dan didakwa selama 12 tahun penjara. Selain pidana kurungan penjara, kedua politisi ini juga didakwa pencabutan hak politiknya.
Pada tahun 2024, kedua politisi telah bebas dari kurungan penjara, tetapi mereka belum bisa ikut mencalonkan Kembali dalam pemilu tahun ini. Tetapi hal itu tidak menyurutkan syahwat politik mereka. Mereka mendorong keluarga mereka untuk ikut dalam pemilihan Pilkada.
Nurdin Abdullah mendorong anaknya, M Fathul Fauzi Nurdin Abdullah, maju sebagai calon kepala daerah Kabupaten Bantaeng. Daerah yang juga pernah dia pimpin selama 2 periode. Sedangkan Nur Alam, mendorong istri dan 2 anaknya, maju dalam pilkada tahun ini. Sang istri, Tina Nur Alam, maju dalam pemilihan calon Gubernur Sulawesi Tenggara, sang anak, Ghiona Nur Alam didorong untuk menjadi calon wali kota Kendari, dan Radhan Nur Alam sebagai calon Bupati Konawe Selatan.
Kedua narapidana ini aktif terlibat dalam pencalonan keluarga mereka. Turun kemasyarakat dengan dalih silaturahmi, kemudian para keluarga mengekor dibelakangnya, sembari mencuri kesempatan untuk berkampanye secara terselubung.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Jika keluarga mantan koruptor berhasil memenangkan pemilihan, mereka berpotensi menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan politik para koruptor tersebut. Hal ini dapat menciptakan konflik kepentingan dan menghambat upaya pemberantasan korupsi secara menyeluruh.
Fenomena maraknya keluarga koruptor yang maju dalam kontestasi pemilihan umum merupakan bentuk pengakalan terhadap hukuman pencabutan hak politik. Meskipun para koruptor ini tidak dapat mencalonkan diri secara langsung, mereka masih dapat melanggengkan kekuasaan dan pengaruh politiknya melalui keluarga mereka. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih intensif untuk mencegah praktik dinastipolitik oleh para mantan koruptor. Selain itu, peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan memilih calon pemimpin yang bersih dan berintegritas juga sangat diperlukan untuk memutus mata rantai korupsi dan menciptakan sistem politik yang lebih sehat dan transparan.